Kain Cual, Tenun Khas Bangka
Cual adalah kain tenun khas Bangka yang berarti “celupan benang pada proses awal”. Karya budaya yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia pada tahun 2015 ini, merupakan keterampilan para perempuan (Yang) Bangsawan Mentok keturunan Ence Wan Abdul Hayat yang berasal dari Kerajaan Siantan-Johor, yang bermukim di Muntok – Bangka, setelah Zamnah (cucu Ence Wan Abdul Hayat bergelar Mas Ayu Ratu) dipersunting oleh Sultan Mahmud Badarruddin I Jayawikrama (1721-1756) dari Kesultanan Palembang.
Warna dan corak Cual tidak semata berlandaskan faktor keindahan saja, namun mengemban nilai-nilai filosofi yang mengandung ajaran moral orang Melayu Bangka Belitung dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Kain Cual pada awalnya dikenal dengan nama Limar Muntok dan hanya dikenakan di kalangan kaum bangsawan Muntok, dan digunakan pada hari-hari besar Islam dan upacara adat, serta untuk pakaian pengantin, pembungkus bayi saat aqiqah, penutup hantaran, penutup mayit, hingga sebagai mahar yang langsung menggambarkan status sosial (pangkat dan kedudukan) seseorang.
Kain Cual merupakan perpaduan teknik ikat (limar) dan teknik sungkit yang agak berbeda dengan jenis songket yang berkembang di daerah Palembang/Sumatera lainnya. Apabila kain songket pada umumnya badan kain didominasi oleh teknik sungkit sehingga dipenuhi oleh corak dari benang emas, khusus Kain Cual, corak badan justru didominasi oleh benang-benang pakan atau benang lungsi (berbahan sutera atau kapas) yang dicelup dulu sebelumnya untuk kemudian ditenun dengan teknik ikat. Bagian kepala kain dan bagian tepi baru ‘dikandang’ dengan beragam corak yang ditenun dengan teknik sungkit dari benang emas. Sebab itu pada motif Limar Muntok/Cual ditemukan motif corak dan ruang kosong.
Corak Cual merupakan perpaduan corak klasik yang diwariskan secara turun temurun dan corak baru yang menggambarkan keterbukaan masyarakat dan interaksi dengan alam sekitarnya. Didominasi warna merah serendit/merah buah rukam, selain warna ungu, hijau, kuning, biru, ragam corak Cual terinspirasi dari flora, fauna, benda angkasa, dan bentuk simetris lainnya, antara lain: kembang kenanga, kembang sepatu, pucuk rebung, tampuk manggis, kembang setangkai, kembang rukem, kembang china, kembang seroja, kembang kecubung, kembang gajah, kembang teratai, sumping, bebek setaman, garuda, naga bertarung, merak, ayam, ubur-ubur, ombak, butiran beras, bintang, gajah mada, talam, dan lainya.
Seiring perkembangan zaman, dikarenakan keindahan corak dan warna kain, serta tingginya status sang pemakai, Cual mulai dikenakan para pejabat dan orang-orang biasa yang kaya raya. Karena banyaknya permintaan dari luar kalangan bangsawan, keterampilan menenun yang berpusat di Kampung Petenun – Muntok yang merupakan tradisi para kaum perempuan dan bagian proses pendewasaan anak dara dari kalangan bangsawan Muntok - mulai diajarkan di kalangan rakyat biasa karena tingginya permintaan.
Sejak itu, Limar Muntok/Cual termasuk salah satu produk tenun khas orang Melayu yang ikut meramaikan perdagangan tenun antar pulau seperti ke Palembang, Pontianak, Belitung, Singapura, dan tanah Melayu lainnya hingga abad 19, dan mulai surut ketika perang melanda daratan Eropa, yang menyebabkan bahan baku berupa benang emas dan benang sutera yang diimpor dari India dan Cina hilang dari pasaran. Kondisi ini berlanjut hingga perang dunia II.
Setelah hampir satu abad karya budaya lokal ini sempat ‘menghilang’ dari masyarakat Bangka, pada tahun 1990-an Pemerintah Daerah mulai menyadari kekayaan budaya yang nyaris punah ini, dan memulai upaya revitalisasi. Saat ini, motif cual yang diaplikasikan dalam bentuk batik dapat ditemui dengan mudah di Bangka Belitung. Pengrajin tenun cual dapat ditemui di Kampung Petenun Kota Muntok Kabupaten Bangka Barat dan di Selindung Kota Pangkalpinang. Terdapat pula Museum Kain Cual di Kota Pangkalpinang.